Kamis, 14 Mei 2009

Tips dan Rambu-Rambu Beramar Ma`ruf Nahi Munkar

Hidayatullah.com--Amar ma`ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam, sesuai dengan firman Allah, yang artinya, ”Dan hendaklah sebagian dari kalian ada umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada hal yang ma`ruf dan melarang kepada hal yang munkar, dan merekalah orang-orang yang meraih kemenangan.” (Ali Imran [3]: 104)

Karena tujuan amar ma`ruf nahi munkar menghilangkan kemunkaran, maka ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan, sehingga tujuan amalan ini tercapai. Karena tak jarang, amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan tanpa memparhatikan adab malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan kemunkaran tetap merajalela. Inilah adab-adab yang perlu diperhatikan bagi siapa saja yang hendak mengubah kemunkaran.

Berniat Ikhlas

Ibnu Muflih berpesan, handaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki niat yang benar, ikhlas, menghidupkan sunnah atau “menolong” syari’ah. (Lihat Al Adab As Syar’iyah, hal. 212, vol.1).

Ini sejalan dengan sabda Rasulullah (SAW), beliau telah menyatakan,”Sesungguhnya sesuatu tergantung kepada niatnya.” (Riwayat Bukhari).

Dimulai dengan Cara yang Paling Lembut

Ketika melihat kemunkaran, maka untuk merubahnya, hendaknya menggunakan cara yang paling ringan terlebih dahulu, yakni dengan nasehat yang lembut. Baru, ketika nasihat tidak berguna, maka penggunaan nasehat yang lebih tegas diperlukan. Namun, ketika teguan keras tidak berfungsi, boleh pelaku amar ma’ruf menggunakan tangan, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan Imam As Syaukani dan Ibnu Al Arabi. (Lihat, Sail Al Jarrar, hal. 586 dan Ahkam Al-Quran, hal. 293, vol.1)

Menghilangkan Kemunkaran Bukan Menghukum

Fungsi amar ma’ruf nahi munkar adalah untuk menghilangakan kemunkaran, bukan menghukum. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), ”Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaknya ia rubah dengan tangannya...” (Riwayat Muslim).

Dengan demikian, tidak dibenarkan perbuatan itu dilakukan untuk menghukum pelaku kemunkaran. Karena amar ma’ruf boleh dilakukan siapa saja, sedangkan menghukum adalah tugas penguasa. (Lihat, Ihya Ulumuddin, hal. 359, vol.2).

Menimbang Maslahat dan Madharat

Sebelum beramar ma’ruf nahi munkar, si pelaku perlu menimbang dengan cermat antara maslahat dan madharatnya. Apabila diperkirakan madharat yang timbul akibat amar ma’ruf besar, maka hendaknya perbuatan ini dihindari terlebih dahulu.

Misalkan, dengan adanya amar ma’ruf maka timbul konflik senjata, maka amar ma’ruf harus dihentikan, karena pertumpahan darah adalah kemunkaran yang lebih besar daripada kemunkaran yang terjadi sebelumnya. Sebagaimana Rasulullah (SAW) melarang membunuh dedengkot munafiqin, Abdullah bin Ubai bin Salul, agar orang-orang kafir tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh temannya sendiri. Sebagaimana Al Qur`an juga melarang mencela sesembahan kaum musryikin, karena perbuatan itu bisa menyababkan kaum musyrikin mencela Allah Ta’ala.

Memperhatikan Kemampuan

Amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah kewajiban, akan tetapi pelaksanaannya harus mempertimbangkan kemampuan diri. Allah Ta’ala berfirman, ”Allah tidak membebani sesorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”. (Al Baqarah: 286).

Tapi bukan berarti dengan demikian pelaku amar ma’ruf harus meninggalkan ingkar sama sekali. Karena dalam posisi demikian ingkar dengan hati tetap diwajibkan (Lihat, Al Qurthubi, vol. 4, hal 48, Ihya’ Ulum Ad Din vol.2, hal. 346-347).

Menghindari Masalah Khilafiyah

Para ulama berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar berlaku dalam masalah yang sudah disepakati keharamannya, bukan masalah yang masih diperselisihkan hukumnya, karena pengingkaran masalah khilafiyah bisa menyebabkan konflik antar umat Islam. Oleh sebab itu, para ulama membuat qaidah, “La yungkaru fi ma ikhtalafa fih, inama yingkaru fi ma ajma’a alaihi”. Kaidah ini memiliki makna, bahwa untuk masalah khilaf tidak boleh diingkari, akan pengingkaran hanya untuk masalah yang telah disepakati keharamannya. (Lihat, Al Asybah wa An Nadzair hal.341, vol.1).

Tidak Melupakan Diri Sendiri

Sudah dimaklumi, bahwa pelaku amar ma`ruf nahi munkar tidak boleh melupakan diri sendiri. Ancaman berat dari Allah kepada mereka yang menyuruh kebaikan kepada orang lain, akan tetapi dirinya malah gemar melakukan perbuatan maksyiat. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian melakukan. Sungguh besar kemarahan Allah, ketika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (As Shaf [61]: 2,3). [tho/www.hidayatullah.com]

Jumat, 20 Maret 2009

Dakwah Tanpa Untaian Kata

Suatu ketika di ruang diskusi, Ustad Dzikrullah seorang mantan Direktur majalah Sahid berkata di hadapan mahasiswa STAI Luqman Al-Hakim Surabaya. "Apakah diantara antum sekalian ada yang pernah mengislamkan orang?" Para hadirin pun terdiam, tidak yang menjawab."Apakah ada, diantara antum sekalian yang membuat orang masuk Islam hanya karena melihat antum shalat?" Hadirin pun tetap terdiam, tidak ada yang menjawab?
Pertanyaan – pertanyaan Ustadz Dzikrullah yang tidak bisa dijawab tadi menggambarkan betapa umat Islam saat ini belum mampu menjadi "magnet" bagi orang lain. Sangat berbeda jauh dengan zamanya Nabi Muhammad SAW maupun para sahabat – sahabat. Kenapa?

Satu di antara sekian faktor yang menyebabkan keberhasilan dakwah Rasulullah SAW adalah kepribadian beliau dan para sahabatnya. Banyak orang masuk Islam hanya karena melihat sahabat Nabi mengucapan salam kepada yang lain. Atau sebab – sebab sepele lainya.

Untuk meyakinkan orang, Nabi tidak perlu berpidato panjang lebar. Ceramah – ceramah beliau sangat pendek, khutbah Nabi sangat pendek dari waktu shalat jumat, begitu juga dalam khutbah – khutbah lainya. Dalam kasus ini bisa kita lihat bahwa bukan panjangnya ceramah yang menjadikan orang tertarik pada Islam, bukan juga pada kata – kata manis para mubalighnya.
Modal Nabi untuk meyakinkan orang lebih banyak tertumpu pada pribadinya. Tidak ada orang yang mengeluh bila bersahabat dengan Nabi, belum ada orang yang mengaduh ketika mengadakan kerjasama dengan Nabi. Belum pernah ada orang yang tak betah bersama Nabi, belum pernah ada yang tersinggung kata – kata Nabi, belum pernah ada yang terkena bogem Nabi, belum pernah ada orang melapor karena ulah Nabi. Inilah modal.
Sebaliknya, Nabi adalah pribadi yang sangat mempesona. Ketika beliau dilempari batu orang – orang Thaif hingga luka di wajah dan sekujur tubuhnya, malaikat datang menawarkan untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi Nabi malah berdoa "Ya Allah berilah mereka petunjuk karena mereka belum tahu." Sungguh luar biasa.
Demikian juga ketika Fathul Makkah, saat kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang, maka seluruh penduduk Makkah mendapat ampunan. Dalam hal ini kita kenal sabda beliau:"barang siapa yang berkumpul di masjidil haram, maka mereka mendapat jaminan keselamatan. Barangsiapa yang tinggal di rumah akan mendapatkan jamianan keselamatan. Dan barang siapa yang tinggal di rumah Abu Shufyan, akan mendapat jaminan keselamatan."
Tiada darah yang tertumpah, tiada hati yang panas membara karena dendam atau amarah. Padahal kaum kuffar Makkah dulu telah menganiaya mereka sampai diuar batas kemanusiaan.
Pribadi yang mempesona ini ternyata bukan hanya terlukis pada diri Nabi saja. Seluruh sahabat beliau menampakkan warna yang sama. Pribadi – pribadi para sahabat sungguh sangat mengagumkan. Wajar bila orang – orang di sekitarnya masuk Islam bukan dengan pedang, tetapi lewat akhlaq dalam pergaulan.
Suatu saat sahabat Ali dalam suatu peperangan menang atas musuh – musuhnya. Salah seorang musuh sudah hampir dibabat batang lehernya, tapi tiba – tiba musuh meludahinya. Dengan serta merta, merah padam wajah Ali karena sangat marah. Tapi karena marah inilah musuh dilepas sementara ia sendiri lari menjauh. Heran melihat peristiwa ini musuhnya mengejar, bukan untuk melawan tapi bertanya, kenapa Ali tidak jadi membunuhny? Beliau menjawab::Saya berperang karena Allah, saya takut membunuh anda dalam keadaan marah. Andai saja anda tidak meludahi saya, anda tentu saja sudah szya babat habis."
Mendengar penuturan ini, kontan sang musuh menyatatakan dirinya masuk Islam. Bukan karena dipaksa dengan pedang.
Jadi, marilah kita tunjukkan Islam yang sesungguhnya. Islam adalah agama rahmatallil'alamin dan kaffatan linnas. Dan kaum muslimin pengemban amanah dakwah harus siap mengatakan,"Siapa yang mau melihat Islam, lihatlah Aku, lihatlah keluargaku, Lihatlah lingkunganku." Karena Aku berusaha dengan sungguh - sungguh menjadi Aqur'an yang berjalan seperti Nabi.


Senin, 02 Maret 2009

Bagaimana Ulama Mensikapi Khilaf Fiqih?

Para ulama menyatakan agar masalah khilafiyah disikapi dengan bijak, dan tidak diperlakukan sebagai hal yang harus diingkari,sehingga perpecahan bisa dihindari

Di kalangan awam, seringkali masalah khilaf fiqih menjadi pemicu pembid’ahan atau hajr (pemutusan hubungan). Bahkan tak jarang, mereka menilai permasalahan khilaf (masalah yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama mu’tabar) sebagai masalah kemungkaran, yang harus ditentang dengan keras, sebagaimana menghadapi masalah-masalah yang telah disepakati keharamanya oleh para ulama.

Dengan sikap demikian, tak jarang timbul perpecahan dan sikap saling membenci antara pengikut madzhab-madzhab fiqih yang ada, hingga terjadilah bentrok fisik antar mereka.

Tentu, hal inilah yang tidak diinginkan para ulama, hingga mereka memberi nasehat kepada umat, bagaimana seharusnya menyikapi khilaf fiqih. Berikut adalah petikan perkataan beberapa ulama mengenai penilaian mereka tentang perbedaan masalah fiqih.

Al Hafidz Imam As Suyuthi (911H),”Telah terjadi khilaf masalah furu’ sejak zaman sahabat-radhiyallahum wa ardhahum-, dan mereka adalah sebaik-baik umat, begitu pula dengan para imam tabi’in setelah mereka beserta para ulama, salah seoarang dari mereka tidak memusuhi yang lainnya, tidak menyakiti dan salah satu dari mereka tidak menuding yang lainnya salah atau tidak mampu.”

Di tempat lain beliau mengatakan,”Ketahuilah bahwa khilaf madzhab-madzhab dalam satu millah merupakan nikmat yang besar dan kelebihan yang besar, serta memiliki rahasia yang lembut yang diketahui oleh mereka yang alim akan tetapi mereka yang jahil buta terhadapnya. Sehingga saya mendengar sebagian orang bodoh mengatakan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam datang dengan syariat yang satu, jika demikian, darimana datangnya madzhab empat?”

Lalu beliau mengatakan,”Dan hal yang tidak kalah mengherankan adalah melebihkan satu madzhab dari madzhab yang lain, pelebihan ini menyebabkan perendahan terhadap madzhab lain, dan bisa jadi itu menyebabkan timbulnya permusuhan antar orang-orang bodoh, dan terciptalah ashabiyah yang didasari kebodohan. Adapun para ulama, mereka terhindar dari itu semua.” (lihat, Jazil Al Mawahib fi Ikhtilaf Al Madzahib, manuskrip di perpustakaan Al Azhar).

Ibnu Qudamah (620 H),” Seungguhnya Allah dengan rahmat-Nya, kebesaran-Nya, ketinggian-Nya, kekuatan-Nya serta daya-Nya telah menanggung, bahwa ada sekelompok dari umat ini yang selalu berada dalam al haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka, siapa saja yang mencela, hingga datang keputusan Allah dan mereka tatap berada dalam kondisi demikian. Yang menyebabkan kelanggengan mereka adalah keberadaan para ulama mereka dan mereka menjadikan para imam dan fuqaha itu sebagai suri tauladan. Allah menjadikan umat ini dengan para ulamanya, seperti umat yang tidak memiliki rasul dan Ia tampakkan di setiap thabaqat dari para fuqaha’ imam-imam yang dijadikan suri tauladan dan semua pendapat merujuk kepadanya. Dan Allah telah menjadikan para salaf dari umat ini sebagai para imam, yang diambil dari mereka kaidah-kaidah keislaman dan dengan mereka permasalahan bisa tercerahkan. Kesepakatan mereka adalah hujjah qath’i, sedangkan perselisihan di antar mereka adalah rahmat yang luas”. (lihat, muqadimah Al Mughni).

Al Hafidz Imam Ad Dzahabi (748H),” Kalau sendainya di saat para Imam terjatuh kepada kesalahan yang dimaafkan dalam ijtihad mereka dan kam bangkit melawan, membid’ahkan atau memutuskan hubungan, maka tidak akan bisa terhindar dari hal itu Ibnu Nashir, Ibnu Mandah atau para Imam yang berada di atas mereka, Allah Maha Memberi Petunjuk hambanya kepada kebenaran, dan Dia Maha Pengasih dari mereka yang mengasihi, dan kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu.” (lihat, Siyar Al A’lam An Nubala, 14/40).

Ibnu Taimiyah (728 H) menukil dari Imam Ahmad bahwa seseorang telah menulis sebuah buku tentang masalah khilaf, maka Imam Ahmad mengatakan,”Jangan dinamai dengan kitab ikhtilaf, akan tetapi namai dengan kitab as sa’ah (kelonggaran).” (lihat, Majmu’ Al Fatawa, 14/95)

Bahkan para salaf rela meninggalkan madzhabnya dalam masalah-masalah mustahab jika dengan demikian ukhuwwah bisa terjaga. Dalam Majmu’ Fatawa, ketik berbicara masalah basmalah, Ibnu Taimiyah ditanya, apakah ia ayat di setiap surat dan apakah sebagian umat Islam perlu dihajr karena masalah ini? Setelah menjelaskan panedapat para ulama tentang masalah ini, beliau mengatakan, ”Mustahab bagi siap saja untuk membangun hubungan baik dengan saudaranya, dengan meninggalkan amalan-amalan mustahab itu. Karena maslahat membangun hubungan hati dalam agama lebih besar daripada maslahat melakukan amalan-malan seperti ini.”

Ingkar terhadap Masalah Khilaf adalah Sebuah Kesalahan

Para ulama membuat kaidah, la yungkaru fi ma ikhtalafa alaihi wa inama yungkaru fi ma ajma’a alaihi, yang artinya, tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan, pengingkaran untuk perkara yang sudah disepakati (keharamannya). Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa pengingkaran yang dimaksud di kaidah ini adalah penentangan dengan keras. Karena, jika masing-masing madzhab mengingkari madzhab lain, maka bisa timbul mudharat yang besar, seperti peperangan atau kekacauan. (lihat, Al Ashbah wa An Nadzair, hal.158)

Kedudukan Pendapat Ulama

Pendapat para ulama memiliki bobot tersendiri, hingga pendapat mereka tidak boleh diingkari. Para ulama ushul fiqih menilai bahwa perkataan para ulama di hadapan para muqallid atau mereka yang tidak mampu berijtihad, bagaikan nash di hadapan para mujtahid. Bukan menyamakan antara nash dengan perkataan ulama, hingga pendapat mereka dianggap sebagai sumber syariat. Pendapat mereka diperhitungkan karena mereka memiliki kapasitas untuk menyimpulkan hukum dari nash-nash, merekapun melakukan hal itu dengan penuh kesungguhan, mereka juga banyak menghafal dan memahami nash-nash agama apalagi kondisi ruhiyah mereka yang selalu dijaga dengan baik. (lihat, Bulugh As Sul fi Al Madkhal ila Ilmi Al Ushul, hal.15)

Walhasil, dari pernyataan beberapa ulama di atas, hendaknya umat Islam tidak mengingkari masalah-masalah yang sudah dikenal sebagai masalah khilaf, dengan demikian ukhuwwah umat Islam terjaga dengan baik. Wallahu’alam bi as shawab.[Tho/www.hidayatullah.com]

Disadur dari Fatwa yang ditebitkan oleh Lembaga Fatwa Mesir, (5 Rabi’ul Awal 1430

Minggu, 01 Maret 2009

Kasus Jilbab III (Terakhir)


Analisa


Mengacu pada pembabakan hubungan Pemerintah Orde Baru dan umat Islam yang diajukan Thaba, tidak terlalu mengherankan melihat sikap Departemen P dan K terhadap fenomena jilbab yang bermunculan sejak awal tahun 1980-an. Pada periode Antagonistik (1967-1982) dan Resiprokal Kritis (1982-1985) banyak aspirasi umat Islam yang disikapi dengan penuh kecurigaan oleh pemerintah. Baru pada pertengahan periode Akomodatif (1985-1994) terjadi perubahan sikap pemerintah terhadap aspirasi umat Islam yang bersimpati dan menghendaki diizinkannya jilbab di sekolah-sekolah negeri.



Pemerintah, dalam hal ini Departemen P dan K, mencurigai adanya motif politik di balik munculnya siswi-siswi berjilbab atau setidaknya ada golongan tertentu yang memperalat siswi-siswi tersebut. Hal ini terungkap dalam penjelasan Departemen P dan K tentang seragam sekolah kepada intern jajarannya atau pada perkataan beberapa guru yang menghalangi siswi berjilbab. Agaknya inilah salah satu alasan yang mendorong mereka melarang jilbab secara tegas di sekolah-sekolah negeri. Selain itu, kurang paham dan kurang tolerannya jajaran Departemen P dan K dan sekolah-sekolah negeri terhadap syariat Islam yang diyakini siswi-siswi berjilbab, kendati kebanyakan mereka sendiri beragama Islam, tampaknya juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai penyebab keluarnya SK 052 dan terjadinya berbagai kasus pelarangan jilbab.

Anggapan adanya gerakan tertentu yang berada di balik maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana bisa diikuti dalam penelitian ini, hampir seluruh siswi yang mengalami kasus ini baru mengenakan jilbab di sekolah menengah negeri, setelah mengikuti training yang diadakan oleh PII Jakarta, Masjid Salman ITB, atau lembaga lainnya. Jadi, dorongan berjilbab atau berkerudung memang menjadi bagian dari program training lembaga-lembaga tersebut, tidak muncul begitu saja. Selain itu, jika melihat kegigihan banyak siswi dalam mengenakan jilbab, bahkan hingga siap dikeluarkan dari sekolah, ini memperilhatkan bahwa semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri pada masa itu bukan sekedar trend atau keinginan sesaat. Jilbab, dalam arti busana muslimah yang menutupi aurat sesuai dengan syariat Islam, sudah menjadi keyakinan yang mendalam bagi siswi-siswi ini.

Sebagaimana telah disinggung pada awal penelitian ini, ada beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap kemunculan jilbab di sekolah negeri. Setidaknya ada dua faktor umum yang bisa dikemukakan di sini, yaitu faktor internal dan eksternal Indonesia. Faktor internal atau dalam negeri yang ikut mempengaruhi maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri antara lain sikap pemerintah Orde Baru yang tidak akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Sikap pemerintah yang tidak menguntungkan ini pada gilirannya mendorong munculnya semangat perlawanan dan militansi dari beberapa organisasi pemuda di tingkat mahasiswa dan pelajar sekolah menengah.

Faktor eksternal yang mempengaruhi fenomena jilbab di sekolah-sekolah negeri antara lain gejala ”kebangkitan” di dunia Islam pada era tahun 1970-an dan 1980-an yang memberi dampak psikologis bagi semangat dakwah Islam di tanah air. Selain itu, faktor yang tidak kalah penting adalah banyak diterjemahkannya buku-buku para tokoh Islam Timur Tengah, yang mayoritasnya merupakan tokoh organisasi Islam Al-Ikhwan Al-Muslimin, ke dalam Bahasa Indonesia serta digunakannya pemikiran-pemikiran mereka oleh kalangan mahasiswa muslim lewat program kaderisasi mereka. Dan jilbab adalah salah satu di antara nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh para pemikir Islam Internasional tersebut.

Di sinilah terjadinya pertemuan antara faktor internal, yaitu organisasi pemuda dan masjid kampus seperti PII Jakarta dan Masjid Salman ITB, dengan faktor eksternal, yaitu pemikiran tokoh-tokoh Al-Ikhwan Al-Muslimin dan pemikiran yang sejalan dengannya. Pertemuan di antara kedua faktor ini pada gilirannya melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Tarbiyah, yang belakangan bertransformasi menjadi Partai Keadilan. Gerakan inilah yang tampaknya berada di belakang perjuangan siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri, setidaknya sejak pertengahan tahun 1980-an.

Ali Said Damanik, yang meneliti tentang Gerakan Tarbiyah, kendati tidak membahas persoalan jilbab secara khusus di dalam bukunya, menegaskan bahwa memang gerakan inilah yang berada di balik maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri. Ia menuliskan,



... sampai kurang lebih sebelas tahun yang lalu, para jilbaber (pengguna jilbab) masih harus berhadapan dengan larangan, pengusiran, dan sejumlah teror yang dilakukan oleh birokrasi-birokrasi sekolah, pabrik dan perusahaan.... Tetapi, berkat keteguhan dan kesabaran para penggunanya – yang sebagian terbesarnya adalah para aktivis gerakan yang sedang kita bicarakan ini – jilbab kini bisa tampil sebagai salah satu asesoris manis yang populer.



Walaupun indikasi adanya gerakan tertentu di balik fenomena jilbab di sekolah-sekolah negeri memperoleh pembenaran melalui fakta-fakta di atas, namun larangan untuk mengenakan jilbab karena tudingan politis sulit untuk diterima oleh umat Islam. Bagaimanapun juga, jilbab tidak pernah menjadi monopoli sebuah gerakan tertentu, karena perintahnya, sebagaimana diyakini oleh banyak kaum muslimin, terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits dan dijalankan oleh berbagai kelompok masyarakat muslim sejak awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Memang ada sebagian kalangan muslim yang memandang jilbab tidak wajib. Namun ketika keyakinan ini dipaksakan tanpa mentolerir pihak-pihak yang meyakini kewajibannya, maka pihak yang terakhir ini akan merasa terlanggar hak-haknya dalam beragama. Ketika kedua belah pihak tetap bertahan pada posisinya masing-masing maka terjadilah konflik yang berkepanjangan sebagaimana yang tampak pada penelitian ini.



Penutup

Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik pada bagian penutup ini, antara lain: pertama, konflik yang terkait dengan jilbab di sekolah-sekolah negeri sangat terkait dengan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Kedua, sikap curiga pemerintah terhadap umat Islam telah mendorong terjadinya konflik, antara lain berupa kasus-kasus pelarangan jilbab sebagaimana yang diangkat dalam penelitian ini.

Ketiga, kegigihan siswi-siswi SMA negeri dalam memperjuangkan hak untuk mengenakan jilbab atau busana muslimah di lingkungan sekolah menunjukkan bahwa semua itu pasti dilandasi oleh keyakinan dan motivasi yang kuat, bukan semata karena ikut-ikutan. Keempat, Munculnya semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal Indonesia. Faktor internal yang menonjol adalah semakin ideologis dan militannya beberapa organisasi pelajar muslim dan masjid kampus dalam melakukan program kaderisasi sebagai dampak tekanan pemerintah yang kuat terhadap mereka. Faktor eksternal yang menonjol adalah dorongan psikologis yang diberikan oleh Revolusi Iran serta pengaruh ideologis pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia, antara lain lewat buku-buku terjemahan. Kelima, adanya peran Gerakan Tarbiyah terhadap perjuangan siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri.

Keenam, sikap kaku pemerintah terhadap peraturan seragam sekolah telah menyebabkan persoalan ini menjadi berlarut-larut. Sekiranya pemerintah bisa bersikap lebih toleran terhadap hal ini, kasus pelarangan jilbab tentu bisa lebih cepat tertangani. Ketujuh, persoalan jilbab atau busana muslim lebih tepat dilihat dari sudut pandang hak seseorang dalam menjalankan agamanya daripada dilihat dari sudut pandang politik. Jadi, selama hak tersebut tidak merugikan kepentingan lembaga (sekolah) ataupun kepentingan orang lain, maka hak tersebut tidak perlu dilarang.

Kedelapan, bagaimanapun juga, sikap Departemen P dan K terhadap persoalan jilbab ketika itu perlu dilihat menurut suasana zamannya yang memang belum begitu bersahabat terhadap berbagai aspirasi umat Islam. Selain itu, kemunculan jilbab di sekolah-sekolah negeri dengan bentuk dan pola semacam ini memang baru pertama kali terjadi pada saat itu, sehingga Departemen P dan K belum mempunyai contoh kasus ataupun pengalaman sejenis yang bisa digunakan secara ideal dalam pengambilan keputusan. Sementara pada saat yang sama, peraturan seragam sekolah dianggap sebagai suatu hal yang penting untuk menumbuhkan rasa persatuan siswa. Adanya pengalaman – serta penelitian tentang pengalaman – ini diharapkan bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk menghindari terjadinya peristiwa serupa di masa-masa yang akan datang.


Kasus Jilbab II

Awal Kemunculan Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri

Sejauh yang berhasil ditelusuri lewat penelitian ini, kasus paling awal yang terekam dari keseluruhan rangkaian kasus pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri terjadi pada tahun 1979. Pada tahun tersebut terjadi sedikit ketegangan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Ada beberapa siswi sekolah tersebut yang mengenakan kerudung. Pihak sekolah kemudian bermaksud untuk memisahkan siswi-siswi ini dalam satu kelas tersendiri. Namun, siswi-siswi tersebut menolak dipisahkan dari kawan-kawannya yang tidak mengenakan jilbab. Setelah ada campur tangan dari Ketua Majelis Ulama Jawa Barat, EZ Muttaqien, pemisahan ini akhirnya tidak jadi dilakukan.


Setahun setelah itu, tahun 1980, terjadi kasus pelarangan jilbab juga di SMAN 3 dan SMAN 4 Bandung. Kurang diketahui bagaimana jalannya kasus pelarangan jilbab di kedua sekolah ini. Namun, mulai bermunculannya kasus-kasus semacam ini di Bandung menyebabkan terjadinya surat menyurat antara Majelis Ulama Jawa Barat, Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen P dan K Jawa Barat, dan Direktur Jenderal PDM Departemen P dan K.

Pengaruh berkembangnya semangat berjilbab di kalangan pelajar sekolah menengah negeri Bandung kemungkinan besar berasal dari pelatihan-pelatihan yang diadakan Masjid Salman ITB yang pada masa itu memang aktif menyelenggarakan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) serta Studi Islam Intensif (SII). Pengaruh aktivitas Masjid Salman ITB tidak hanya terbatas pada kalangan mahasiswa Bandung saja, melainkan juga kalangan pelajar sekolah menengah dan kota-kota selain Bandung.

Sementara itu di Jakarta, kasus pelarangan jilbab juga mulai bermunculan. Munculnya semangat berjilbab di lingkungan sekolah menengah negeri di Jakarta banyak dipengaruhi oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta, kendati anjuran berjilbab ini bukan merupakan kebijakan PII tingkat nasional. Zainal Muttaqien, yang pada awal 1980-an menjabat sebagai salah satu pengurus PII wilayah Jakarta, memperkirakan Bulan Juni 1980 sebagai awal dari ”jilbabisasi” yang mereka lakukan. Setelah muncul siswi-siswi berjilbab di beberapa sekolah negeri, lewat pengaruh pelatihan-pelatihan yang diadakan PII Jakarta, ketegangan segera terjadi di beberapa sekolah seperti SMAN 30 dan SMAN 8.

Pada awal tahun 1982, terjadi satu kasus lagi pelarangan jilbab. Kali ini terjadi pada seorang siswi bernama Triwulandari, biasa dipanggil Titik, di SMAN 1 Jember. Titik juga tergerak untuk mengenakan jilbab setelah mengikuti Studi Islam Intensif (SII) di Masjid Salman ITB, Bandung, selama empat hari pada saat liburan sekolah. Karena kerudung yang dikenakannya, ia dipaksa pulang oleh kepala sekolahnya, I Made Rempet. Ia dianggap melanggar peraturan seragam sekolah dan dituduh sebagai anggota Jama’ah Imron. Ia bahkan sempat dipanggil oleh Kodim 0824 Jember dan ditanyai mengenai Jama’ah Imron. Penulis tidak memperoleh informasi bagaimana kelanjutan kasus ini.



Pelarangan Jilbab Setelah SK 052



Pada tanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P dan K.

SK tersebut hampir-hampir tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain. Karenanya, kebijakan pemerintah ini segera berbenturan dengan keinginan beberapa siswi muslim di sekolah-sekolah negeri untuk menutup auratnya sesuai dengan syari’at Islam yang mereka yakini. Kalau sebelum keluarnya SK 052 saja sudah mulai bermunculan kasus-kasus pelarangan jilbab, maka setelah keluarnya SK tersebut semakin banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya dipersilahkan untuk keluar dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta.

Kasus pelarangan jilbab sudah mulai terjadi tidak lama setelah berlakunya SK 052. Padahal, SK itu sendiri memberi masa transisi selama dua tahun sebelum kebijakan seragam sekolah betul-betul diterapkan. Selain itu, dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Departemen P dan K disebutkan bahwa SK 052 hanya merupakan ”pedoman” yang ”tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan.” Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan banyaknya tekanan dari sekolah-sekolah negeri terhadap siswi-siswinya yang berjilbab, bahkan tidak sedikit siswi yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Tekanan diberikan tidak hanya terhadap siswi, tapi juga terhadap guru yang membiarkan siswi berjilbab tetap belajar di kelasnya.

Kasus pertama yang terekam sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan guru Olah Raga SMAN 3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka melepaskan kerudung. Bukan hanya kerudung yang menjadi masalah, kedelapan siswi ini juga diwajibkan mengenakan celana pendek (hotpant) pada jam pelajaran Olah Raga. Setelah surat-menyurat yang cukup alot antara Majelis Ulama, Kanwil Departemen P dan K Jawa Barat, dan guru Olah Raga terkait, baru masalah itu bisa diselesaikan dan para siswi tetap diijinkan menggunakan kerudung pada jam-jam pelajaran, termasuk jam Olah Raga. Tapi untuk kasus yang terjadi di SMAN 68, Jakarta Pusat, beberapa bulan setelah itu, siswi yang mengenakan kerudung terpaksa menerima kenyataan harus dikeluarkan dari sekolah.

Kasus-kasus lainnya pun segera menyusul setelah itu. Semakin lama semakin banyak siswi yang mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal ini menimbulkan reaksi dari beberapa lembaga Islam, terutama Pelajar Islam Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan Departemen P dan K yang mulai menimbulkan korban. Majelis Ulama Indonesia (MUI), mewakili lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan dialog dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Menteri P dan K) dengan harapan Menteri P dan K bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya mengenai peraturan seragam sekolah ini. Beberapa media massa, walaupun masih terbatas, memberitakan kasus-kasus pelarangan yang terjadi dan para siswa beberapa kali melakukan demonstrasi menuntut hak mengenakan jilbab di sekolah. Sayangnya, semua itu ternyata tidak banyak membuahkan hasil. Namun menariknya, siswi-siswi yang mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, terutama di Jakarta dan Bandung, terus saja bertambah.

Pada awal tahun ajaran 1984/ 1985, persis setelah berakhirnya masa transisi peraturan seragam sekolah sebagaimana diatur oleh SK 052, kasus-kasus pelarangan jilbab segera bermunculan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya. Lembaga Bina Insan Kamil (LBIK) melaporkan 29 siswi berjilbab dari sembilan sekolah negeri terancam dikeluarkan. Anas melaporkan 350 siswi berkerudung di Bandung terancam dikeluarkan. Berita yang disampaikan Serial Media Dakwah lebih mengejutkan lagi. 300 pelajar puteri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan Sumenep, terpaksa pindah sekolah karena masalah kerudung ini. Sekolah-sekolah negeri di Bandung sendiri bersih dari jilbab pada tahun 1984. Hanya di Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap diperkenankan. Selain itu, tidak sedikit siswi-siswi yang terpaksa mengalah terhadap peraturan seragam sekolah dan akhirnya melepaskan jilbab yang mereka kenakan selama berada di lingkungan sekolah. Sementara di luar sekolah, mereka umumnya tetap mengenakan jilbab atau kerudung.



Babak Baru Perjuangan Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri



Setelah penegakan peraturan seragam sekolah yang gencar dari sekolah-sekolah negeri sepanjang tahun 1984 dan 1985, selama dua tahun berikutnya, 1986-1987, boleh dikatakan sepi dari kasus pelarangan jilbab. Siswi-siswi sekolah negeri yang masih mengenakan jilbab, terpaksa melepaskannya selama berada di lingkungan sekolah. Namun, antara tahun 1988 hingga 1991, kasus pelarangan jilbab kembali marak terjadi. Pada masa-masa ini, banyak siswi berjilbab yang memberanikan diri menuntut hak mereka untuk mengenakan jilbab di lingkungan sekolah. Tentu saja ini kembali menimbulkan konflik dengan pihak sekolah dan banyak siswi yang terancam dikeluarkan dari sekolah.

Sejak awal tahun ajaran 1988/ 1987, cukup banyak kasus pelarangan jilbab yang terjadi, bukan hanya di Jawa, tapi juga di luar Jawa. Sekolah-sekolah yang mengalami kasus ini antara lain SMAN 1, SMKK, SPG Kendari, dan SMAN Mandonga (seluruhnya di Sulawesi Utara), SMAN 30 Jakarta, SMAN 1 Arga Makmur Bengkulu, SMAN 36, dan SMAN 83 Jakarta. Siswi-siswi yang tetap ingin bertahan dengan jilbab yang dikenakannya, dikembalikan oleh sekolah kepada orang tua mereka masing-masing dan akhirnya terpaksa harus pindah ke sekolah swasta.

Perbedaan menonjol konflik jilbab pada masa ini (1988-1991) dibanding tahun-tahun sebelumnya adalah kasus pelarangan jilbab pada masa ini lebih banyak diangkat oleh media massa dan beberapa di antara kasus-kasus ini ada yang berlanjut ke pengadilan. Agaknya, perjuangan para siswi berjilbab hingga ke pengadilan inilah yang menarik perhatian pers untuk meliputnya dan pada gilirannya membuat kasus pelarangan jilbab ini diketahui lebih luas oleh masyarakat.

Media massa yang meliput berita pelarangan jilbab pada masa ini adalah majalah Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit, Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota. Media-media massa ini juga menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya menyatakan keprihatinan mereka terhadap apa yang menimpa siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Suara masyarakat yang umumnya disampaikan melalui surat-surat pembaca di berbagai media massa bernada cukup pedas mengecam para pejabat dan guru-guru sekolah negeri yang menghalang-halangi siswinya berjilbab.

Adapun tokoh yang ikut merespon kasus ini antara lain Dja’far Badjeber (Komisi E DPR RI), Sarwono Kusumaatmaja (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara), Nursyahbani Katjasungkana (Direktur LBH Jakarta), KH Hasan Basri (Ketua MUI), Hartono Mardjono (Wakil Ketua DPA), Mardinsjah (Sekjen PPP), Lukman Harun (PP Muhammadiyah), Anwar Harjono (DDII), A.M. Saefudin (Direktur Pesantren Ulil Albab Bogor), dan Drs. Ridwan Saidi.

Kasus yang pertama kali berlanjut ke pengadilan adalah kasus pelarangan jilbab di SMAN 1 Bogor. Beberapa siswi yang berjilbab di sekolah ini diperbolehkan hadir belajar di kelas, tetapi di dalam absensi mereka dianggap tidak hadir dan seluruh ulangan maupun praktikum yang mereka ikuti tidak dinilai oleh guru. Selain itu, mereka juga dipanggil ke kantor sekolah setiap hari dan ditekan dengan berbagai pertanyaan yang bernada intimidatif. Setelah gagal untuk menyelesaikan hal ini secara musyawarah, empat orang tua siswi berjilbab di sekolah ini menuntut Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor ke pengadilan. Dalam mengajukan gugatannya, mereka dibantu oleh LBH Jakarta.

Setelah penundaan sidang yang pertama, pada tanggal 2 Desember 1988, dilakukan pertemuan antara orang tua siswi, Ketua MUI Bogor, Walikota Bogor, kuasa hukum Departemen P dan K, Kandep P dan K Bogor, dan Kanwil P dan K Jawa Barat. Pertemuan itu menyepakati bahwa siswi-siswi berjilbab harus dikembalikan pada statusnya semula dan Kepala SMAN 1 Bogor harus mengajukan surat permohonan maaf pada para orang tua siswi. Pada sidang pengadilan berikutnya, Kepala SMAN 1 Bogor menyampaikan permohonan maaf dan berjanji untuk menerima kembali siswi-siswi berjilbab. Kuasa hukum siswi-siswi berjilbab menarik tuntutannya dan masalah pun dianggap selesai.

Berbeda dengan sidang pengadilan di atas yang relatif cepat dan dimenangkan oleh pihak siswi berjilbab, sidang kasus jilbab yang menimpa sepuluh siswi SMAN 68 Jakarta berlangsung sangat lama. Peristiwa bermula pada Bulan November 1988 ketika di sekolah tersebut mulai bermunculan siswi-siswi berjilbab. Siswi-siswi ini kemudian menerima tekanan terus menerus dari sekolah. Mereka harus memilih antara melepas jilbab, keluar dari kelas, atau guru yang tidak mengajar di kelas mereka. Tekanan yang diterima oleh siswi-siswi ini meningkat terus hingga akhirnya mereka sama sekali tidak diizinkan masuk ke dalam sekolah. Kebijakan ini didukung oleh Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta.

Setelah jalan musyawarah tidak membuahkan hasil, orang tua siswi-siswi ini kemudian menempuh jalur hukum lewat bantuan LBH Jakarta. Nursyahbani, yang menjadi kuasa hukum siswi-siswi berjilbab, kemudian menyurati Kanwil P dan K DKI Jakarta dan Menteri P dan K. Karena tidak memperoleh hasil yang diharapkan, pada tanggal 2 Maret 1989, kasus ini resmi diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah beberapa kali sidang, pengadilan memutuskan untuk menolak seluruh tuntutan penggugat. Para penggugat kemudian memutuskan untuk naik banding. Dari sepuluh orang tua siswi berjilbab, kini tinggal lima yang meneruskan gugatan ke pengadilan tinggi.

Selama proses pengadilan berlangsung, siswi-siswi ini diterima belajar di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah ”dengan status belum pindah dari SMAN 68.” Karena panjangnya proses pengadilan, siswi-siswi ini akhirnya terpaksa mengurus kepindahan mereka secara resmi dari SMAN 68.

Perjuangan siswi-siswi ini di pengadilan tinggi pun rupanya mengalami kekalahan. Namun, pada tanggal 19 Desember 1990 mereka mengajukan kasasi. Bagaimana jalannya sidang setelah itu tidak lagi menarik perhatian media massa. Berita mengenai sidang pengadilan ini baru muncul beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1995, dengan kemenangan di pihak siswi-siswi berjilbab. Padahal, sejak 1991 jilbab sudah diizinkan di sekolah-sekolah negeri.

Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah negeri dan ruang pengadilan, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal, sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga Rp. 160,00. Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal dunia dihakimi masa karena diteriaki sebagai penebar racun. Kendati pada awalnya kejadian ini sangat merugikan wanita-wanita yang mengenakan jilbab, tetapi setelah terbukti bahwa semua itu tidak benar dan nyata-nyata telah memojokkan wanita-wanita berjilbab, simpati dan pembelaan yang lebih besar mengalir pada para wanita – dan tentu saja siswi-siswi – berjilbab.

Semua peristiwa itu menimbulkan reaksi dan kemarahan umat Islam. Pada awal November 1989 berkumpul para pemuda dan mahasiswa yang mewakili 60 lembaga Islam se-Bandung di Universitas Padjadjaran untuk berunjuk rasa. Kehadiran mereka dipicu oleh isu penyebaran racun oleh wanita berjilbab yang mereka anggap sangat memojokkan Islam. Tanggal 21 Desember 1989 kembali digelar demonstrasi di Bandung menuntut kebebasan memakai jilbab.

Sementara itu, pembicaraan intensif mengenai masalah ini bergulir terus antara MUI dan Departemen P dan K yang diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM (Dikdasmen), Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru, yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak.

Hal ini tentu saja disambut gembira oleh siswi-siswi berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan mereka. Tidak sedikit dari siswi-siswi berjilbab ini yang langsung memberanikan diri mengenakan jilbab di sekolah tidak lama setelah ditandatanganinya SK tersebut. Walaupun, SK tersebut sebenarnya baru benar-benar berlaku pada tahun ajaran baru 1991/ 1992 yang jatuh pada Bulan Juli. Pihak Humas P dan K meminta kepala-kepala sekolah negeri agar mentolerir hal ini. Dengan berlakunya SK 100 ini, maka persoalan jilbab di Indonesia secara umum sudah bisa dianggap selesai.


Jumat, 27 Februari 2009

Kasus Jilbab I


JILBAB DI SEKOLAH-SEKOLAH NEGERI DI INDONESIA TAHUN 1982-1991





OLEH:

ALWI ALATAS


* Keterangan: Artikel ini disederhanakan dari paper akademik yang diajukan untuk lomba penelitian LIPI beberapa tahun lalu, walaupun sayangnya tidak menang. Artikel lengkapnya bisa diambil pada attachment di bagian ke-3 tulisan ini. Secara umum isinya hampir sama dengan buku Revolusi Jilbab yang pernah kami tulis, hanya saja lebih ringkas dan lebih mengikuti pola penulisan akademik yang strict. Semoga bermanfaat.


Latar Belakang



Hubungan antara Pemerintah Orde Baru dengan umat Islam telah banyak mendapat perhatian dari para pengamat sosial dan politik. Sebagaimana masa-masa sebelumnya, hubungan umat Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami proses pasang surut. Hubungan tersebut diawali dengan adanya kerja sama di antara kedua belah pihak, kemudian terjadi ketegangan dan konflik, dan akhirnya kembali saling mengakomodasi.

Kerja sama antara kedua belah pihak di awal terbentuknya pemerintahan Orde Baru sebenarnya lebih dilandasi oleh adanya kepentingan bersama, yaitu dalam menjatuhkan rezim Orde Lama dan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta seluruh unsur-unsurnya. Namun, begitu pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto ini berhasil memantapkan kedudukannya dalam pentas politik Indonesia, hubungannya dengan umat Islam segera memburuk. Suharto dan banyak pejabat Orde Baru ketika itu agaknya lebih melihat umat Islam sebagai ancaman bagi kestabilan politik dan pembangunan daripada sebagai mitra, setidaknya sampai paruh kedua tahun 1980-an ketika ketegangan di antara keduanya mulai mencair.

Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah mengemuka antara tahun 1967 hingga paruh pertama tahun 1980-an. Pada periode ini, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang dianggap merugikan umat Islam. Sementara itu, sebagian elemen Islam menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah ini secara konfrontatif, sehingga hubungan di antara keduanya memburuk.

Kedua belah pihak kemudian sama-sama menyadari bahwa hubungan yang buruk ini tidak menguntungkan bagi semua pihak. Mereka pun berusaha untuk mengurangi sikap saling curiga dengan saling memahami posisi dan potensi masing-masing. Titik balik hubungan ini, mengacu pada pendapat Abdul Aziz Thaba, adalah dengan digulirkannya gagasan Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1982. Gagasan ini menimbulkan reaksi, baik mendukung maupun menolak, dari berbagai organisasi masa (ormas) Islam. Namun, ketika pemerintah benar-benar menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1985, mayoritas ormas Islam yang ada di Indonesia menerimanya. Sejak itu, mulai terjadi akomodasi antara pemerintah dengan umat Islam.

Terjadinya ketegangan antara pemerintah Orde Baru yang didominasi militer dengan umat Islam bisa dipahami, mengingat struktur kekuasaan ketika itu banyak diisi oleh kaum Islam abangan. Walaupun keberadaan kaum Islam Abangan dalam pemerintahan Orde Baru ketika itu sulit dibuktikan dengan angka-angka, beberapa ahli percaya bahwa ketegangan antara pemerintah Orde Baru dan umat Islam merupakan refleksi ketegangan antara kelompok Abangan dan kelompok Santri di Indonesia. Itulah sebabnya mengapa banyak aspirasi kaum muslimin di Indonesia, khususnya aspirasi politik, yang disikapi secara negatif dan bermusuhan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam hal politik, sikap pemerintah Orde Baru sama seperti yang dianjurkan oleh Snouck Hurgronje terhadap pemerintah Hindia Belanda pada awal abad kedua puluh, yaitu mendukung Islam sebagai praktek individu dan sosial, tetapi menolak Islam politik.

Dibatasinya ruang gerak umat Islam di bidang politik tentu tidak harus membuat mereka lumpuh dalam segala bidang. Dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan:



”Kelumpuhan umat Islam dalam politik tidak berarti kelumpuhan mereka bergerak dalam bidang sosial dan kultural. Justru pada periode kemacetan dalam politik inilah umat Islam punya peluang yang baik sekali untuk melancarkan dakwah Islam dengan sasaran-sasaran yang lebih strategis.”



Macetnya saluran politik umat Islam tampaknya memang telah membuat mereka menyalurkan energinya ke bidang-bidang yang lain, terutama dalam penyebaran dakwah Islam.

Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal kehidupan sosial politik di Indonesia mungkin merupakan ujian politik terbesar yang diberikan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Organisasi-organisasi pemuda yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal, walaupun kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Orde Baru, tidak serta merta membubarkan diri mereka atau berhenti melakukan aktivitas. Sebagaimana dituturkan Damanik, mereka ”tetap bergerak sebagai ‘gerakan bawah tanah,’ membuat training dan pembinaan-pembinaan bagi pemuda-pemuda Islam.” Tekanan pemerintah justru membuat gerakan mereka jadi semakin ideologis dan kaderisasi yang mereka lakukan pada masa itu pada gilirannya melahirkan kader-kader muda yang militan. Kemunculan jilbab, yang menjadi tema penelitian ini, merupakan salah satu hasil dari kaderisasi dakwah yang gencar dilakukan pada masa-masa tersebut.

Pada saat yang sama, situasi internasional juga ikut mempengaruhi dinamika pergerakan Islam di Indonesia. Tahun 1970-an merupakan tahun yang penuh pergolakan di dunia Islam. Berbagai peristiwa penting seolah menandai geliat baru umat Islam di berbagai negara. Mulai dari Perang Ramadhan (1973), embargo minyak Arab yang dipimpin oleh Raja Faisal (1973), Berkuasanya Zia Ul-Haq di Pakistan berikut program Islamisasinya (1977), dimulainya jihad Afghanistan (1979), hingga berkuasanya Khomeini lewat Revolusi Iran (1979). Mungkin dalam kaitan ini pula abad XV Hijriah, yang dimulai pada tahun 1400 H, ditetapkan sebagai abad kebangkitan Islam. Gagasan kebangkitan Islam ini terus bergulir selama tahun-tahun berikutnya.

Dua hal eksternal yang disebut-sebut banyak memberikan pengaruh terhadap kemunculan jilbab di sekolah-sekolah negeri adalah Revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979 dan pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para tokohnya yang banyak diterjemahkan sejak tahun 1970-an. Revolusi Iran, yang dipimpin Khomeini dan berhasil menggulingkan rezim syah Iran ketika itu, ikut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya semangat berjilbab di kalangan siswi-siswi muslim di Indonesia. Peristiwa tersebut mendapat perhatian yang luar biasa dari berbagai media masa dan memperlihatkan pada masyarakat dunia – termasuk masyarakat Indonesia – bagaimana wanita-wanita Iran menutupi tubuhnya secara rapat dengan jilbab dan busana muslimah. Namun, agaknya pengaruh ini lebih bersifat psikologis daripada ideologis, karena ideologi Syi’ah yang dianut oleh Revolusi Iran jelas-jelas tidak diadopsi atau dianut oleh siswi-siswi yang mengalami pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri.

Pengaruh yang lebih ideologis agaknya berasal dari pemikiran-pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para tokohnya yang banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Pemikiran Al-Ikhwan juga banyak tersosialisasi lewat training-training yang diadakan oleh masjid-masjid kampus, terutama Masjid Salman ITB lewat Latihan Mujahid Dakwah (LMD) yang dimotori oleh Ir. Imaduddin Abdul Rahim. 08121651567


Proses Syahadat Seorang Mualaf Tengger




Lantunan adzan maghrib pun menggema. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Suana hatiku terasa syahdu mendengarkanya. Malam yang bersejarah bagiku akan tiba. Malam pembebasan. Malam pengakuan.Malam perjanjian. Malam persaksian.Malam pensyahadatan.
"Mas, cara proses syahadat disini ya seperti itu, ga boleh dirubah - rubah". kata Ustadz Abdur Rahman. "Baiklah kalau begitu" ujarku sambil menghela nafas panjang.
Sejarah telah tiba, "Monggo ditiruake" kataku pelan tapi tegas."Kulo nyekseni, mboten wonten pangeran, ingkang sinembah, kejawi namung gusti Alloh, lan kulo nyekseni, kanjeng Nabi Muhammad, utusanipun Gusti Alloh"."sampun" kataku. Pekikan takbirpun berkumandang "Allahu Akbar"!. Salah satu Jamaah berkata:"Alhamdulillah, saudara kita bertambah lagi" ujarnya sambil berderai air matanya jatuh ke pipi.

Senin, 16 Februari 2009

Bersama Ustadz Faudzil Adzim



Kapan yah ane bisa seperti Ustadz Faudzil Adzim? Setidaknya pernah Foto bersamalah.

My Sahabat



Nah kalau temen yang satu ini adalah temen semadzhab. yaitu sama - sama wong Semarang.



Ayo Kita Buat Sekolah Ideologis



Foto bersama teman yang bekerja sebagai wartawan Sahid. HE IS kakak seniorku.



Belajar Bahasa Arab

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template